MEDAN, Garuda News Nusantara - Aktifis Mahasiswa Sumatera Utara menilai bahwa mengedepankan forum diskusi dan kajian dalam menyikapi pengesahan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang baru jauh lebih berbobot dibandingkan aksi demo turun ke jalan.
Ketua Umum Badko HMI Sumut, M. Alwi Silalahi, menanggapi polemik pengesahan UU KPK tersebut mengatakan bahwa selaku kaum intelektual, mahasiswa Sumut sebaiknya melakukan kajian-kajian akademis membedah UU KPK tersebut dan selanjutnya mengajukan judicial review ke mahkamah konstitusi (MK), daripada aksi unjuk rasa turun ke jalan.
"Kita lebih sepakat judicial review. Kenapa? Karena sekarang ini persoalan kebangsaan kita lagi memprihatinkan. Jadi untuk meminimalisir konflik yang mungkin terjadi, misalnya seperti demo mahasiswa di Sumatera Utara yang lalu, kata Kapolda ada penunggangan dari teroris, atau pun ada variabel lain yang akhirnya membuat masyarakat menyerang mahasiswa. Untuk itu, kita mendorong yang lebih intelek, yaitu judicial review atau pun kajian-kajian", tutur Alwi, saat diwawancarai media ini, Minggu malam (27/10/2019).
Menurutnya, lembaga mahasiswa perlu mengadakan kajian terkait UU KPK ini di kampus-kampus atau di lembaga mahasiswa masing-masing. "Undang pakar-pakar hukum, dibuat seminar atau talk show, atau bentuk lain sejenisnya untuk mengkaji dan memahamkan masyarakat dan mahasiswa Sumatera Utara", tambahnya.
"Karena kulihat ada mahasiswa yang demo, dia gak paham apa sebenarnya yang didemokan. Kadang begitu, sekedar hegemoni, karena panggilan jiwa lah. 'Di Jakarta demo, kita koq gak demo?' Hanya persoalan itu. Lihatlah di meme-meme, sampai anak SMA ikut. Mereka sebenarnya gak paham apa yang didemokan. Apa yang dituntut", ungkapnya.
Alwi menilai, aksi (unjuk rasa) adalah akhir dari perlawanan ketika kritikan kita tidak dipahami oleh pemerintah. "Jadi lebih baik dipahamkan dulu mahasiswa, masyarakat, sehingga gerakan (aksi unjuk rasa) itu lebih konstruktif, massif dan berbobot ketika semua paham", tegasnya.
Contoh, lanjut Alwi, ada undang-undang yang pro terhadap masyarakat, misalnya, orang yang berjanji menikahi pacarnya, agar dia melepaskan perawannya. "Di dalam undang-undang itu, si laki-laki akan kena pidana. Namun yang terjadi orang malah gak paham, kiranya, masak soal percintaan diatur (negara), persoalan selangkangan koq diatur. Kan sampai sebegitunya tuntutan di saat demo. Makanya harus paham dulu apa yang dituntut", tegasnya.
"Himbauan saya kepada mahasiswa, khususnya di Sumatera Utara, lakukan kajian-kajian agar mahasiswa, kader-kader kita memahami apa yang dituntut, lantas lakukan langkah-langkah konstitusional, melalui judicial review ke mahkamah konstitusi. Selanjutnya kalau memang tidak juga didengar, ya turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi itu. Kalau langkah-langkah itu sudah ditempuh maka bobot perjuangan itu berkarakter", pungkasnya.
Hal senada disampaikan oleh Gito Pardede, Korwil GMKI Sumut-NAD. Menurutnya, secara umum mahasiswa di Sumatera Utara tidak tahu ada langkah konstitusional yang bisa ditempuh untuk membatalkan UU KPK yang baru.
"Itu yang perlu diedukasi. Disosialisasikan lebih banyak ke masyarakat dan mahasiswa karena persoalan KPK ini adalah persoalan bangsa. Plus minus undang-undang KPK ini tidak dibahas secara gamblang terutama pada mahasiswa di Sumatera Utara", ujar Gito.
Ditegaskannya bahwa dialog-dialog membahas isi UU KPK ini tidak banyak dilakukan oleh stakeholder terkait. "Secara umum, mahasiswa di tingkat Sumatera Utara belum tahu bagaimana cara menggagalkan UU KPK secara konstitusional, sehingga dipilih lah aksi unjuk rasa sebagai respon terhadap persoalan tersebut", tegasnya. (Sil)
Ketua Umum Badko HMI Sumut, M. Alwi Silalahi, menanggapi polemik pengesahan UU KPK tersebut mengatakan bahwa selaku kaum intelektual, mahasiswa Sumut sebaiknya melakukan kajian-kajian akademis membedah UU KPK tersebut dan selanjutnya mengajukan judicial review ke mahkamah konstitusi (MK), daripada aksi unjuk rasa turun ke jalan.
"Kita lebih sepakat judicial review. Kenapa? Karena sekarang ini persoalan kebangsaan kita lagi memprihatinkan. Jadi untuk meminimalisir konflik yang mungkin terjadi, misalnya seperti demo mahasiswa di Sumatera Utara yang lalu, kata Kapolda ada penunggangan dari teroris, atau pun ada variabel lain yang akhirnya membuat masyarakat menyerang mahasiswa. Untuk itu, kita mendorong yang lebih intelek, yaitu judicial review atau pun kajian-kajian", tutur Alwi, saat diwawancarai media ini, Minggu malam (27/10/2019).
Menurutnya, lembaga mahasiswa perlu mengadakan kajian terkait UU KPK ini di kampus-kampus atau di lembaga mahasiswa masing-masing. "Undang pakar-pakar hukum, dibuat seminar atau talk show, atau bentuk lain sejenisnya untuk mengkaji dan memahamkan masyarakat dan mahasiswa Sumatera Utara", tambahnya.
"Karena kulihat ada mahasiswa yang demo, dia gak paham apa sebenarnya yang didemokan. Kadang begitu, sekedar hegemoni, karena panggilan jiwa lah. 'Di Jakarta demo, kita koq gak demo?' Hanya persoalan itu. Lihatlah di meme-meme, sampai anak SMA ikut. Mereka sebenarnya gak paham apa yang didemokan. Apa yang dituntut", ungkapnya.
Alwi menilai, aksi (unjuk rasa) adalah akhir dari perlawanan ketika kritikan kita tidak dipahami oleh pemerintah. "Jadi lebih baik dipahamkan dulu mahasiswa, masyarakat, sehingga gerakan (aksi unjuk rasa) itu lebih konstruktif, massif dan berbobot ketika semua paham", tegasnya.
Contoh, lanjut Alwi, ada undang-undang yang pro terhadap masyarakat, misalnya, orang yang berjanji menikahi pacarnya, agar dia melepaskan perawannya. "Di dalam undang-undang itu, si laki-laki akan kena pidana. Namun yang terjadi orang malah gak paham, kiranya, masak soal percintaan diatur (negara), persoalan selangkangan koq diatur. Kan sampai sebegitunya tuntutan di saat demo. Makanya harus paham dulu apa yang dituntut", tegasnya.
"Himbauan saya kepada mahasiswa, khususnya di Sumatera Utara, lakukan kajian-kajian agar mahasiswa, kader-kader kita memahami apa yang dituntut, lantas lakukan langkah-langkah konstitusional, melalui judicial review ke mahkamah konstitusi. Selanjutnya kalau memang tidak juga didengar, ya turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi itu. Kalau langkah-langkah itu sudah ditempuh maka bobot perjuangan itu berkarakter", pungkasnya.
Hal senada disampaikan oleh Gito Pardede, Korwil GMKI Sumut-NAD. Menurutnya, secara umum mahasiswa di Sumatera Utara tidak tahu ada langkah konstitusional yang bisa ditempuh untuk membatalkan UU KPK yang baru.
"Itu yang perlu diedukasi. Disosialisasikan lebih banyak ke masyarakat dan mahasiswa karena persoalan KPK ini adalah persoalan bangsa. Plus minus undang-undang KPK ini tidak dibahas secara gamblang terutama pada mahasiswa di Sumatera Utara", ujar Gito.
Ditegaskannya bahwa dialog-dialog membahas isi UU KPK ini tidak banyak dilakukan oleh stakeholder terkait. "Secara umum, mahasiswa di tingkat Sumatera Utara belum tahu bagaimana cara menggagalkan UU KPK secara konstitusional, sehingga dipilih lah aksi unjuk rasa sebagai respon terhadap persoalan tersebut", tegasnya. (Sil)
COMMENTS